Permendikbud-Ristek No.30 Tahun 2021 Sebagai Instrumen Pembasmi Predator Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi

Mikhael Pontowulaeng, S.H 

Oleh : Mikhael Pontowulaeng, S.H 
(Kepala Departemen Hukum Pidana)

A. Pendahuluan 

Pendidikan tinggi merupakan batu loncatan, maka setiap kampus di Indonesia harus merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya. Perempuan korban kekerasan seksual masih sulit mendapatkan keadilan di dalam proses hukum karena definisi kekerasan seksual yang tercantum dalam aturan perundangan di Indonesia masih sempit serta minimnya perspektif gender aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Sri Nurherwati mengatakan, saat ini kekerasan seksual yang dikenal di dalam hukum Indonesia hanya dua, yakni Pemerkosaan dan Pencabulan. Pemerkosaan dan Pencabulan itu keduanya dibungkus dengan kontak fisik, korban harus langsung berhadapan dengan pelaku. 

Sedangkan menurut PAF Lamintang menjelaskan mengenai perbuatan cabul adalah “perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan diluar perkawinan dengan dirinya. 

Melihat kasus yang terjadi pada tahun 2020 mengenai dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oknum dosen pada seorang mahasiswa perguruan tinggi yang ada di Padang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, pihak pendamping korban, membuat petisi meminta publik mengawasi proses hukum yang telah berlangsung.  

Peristiwa terjadi waktu persiapan pentas seni akhir tahun lalu. Dosen itu minta sesuatu yang panas-panas ke seorang Mahasiswi. Saat itu Mahasiswi berpikir Dosen tersebut minta teh atau kopi lalu Mahasiwi itu pergi ke dapur. Akan tetapi setelah sampai didapur, tangan Mahasiwi itu ditarik oleh Dosen ke toilet perempuan dan disanalah Dosen itu melakukan tindakan seksual pada Mahasiswi. 

Dilangsir dari TEMPO.CO, kasus dugaan pelecehan seksual di lingkungan kampus terus bermunculan seiring dengan banyaknya korban yang berani mengungkapnya. Desakan agar kampus mengimplementasikan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pun menguat.

Di langsir juga dari DetikNews, mengenai kabar mengejutkan yang terjadi di daerah Bumi Nyiur Melambai yang diungkap oleh Lembaga Advokasi Mahasiswa (LAM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sam Ratulangi Manado yang membuat laporan ke pihak fakultas mengenai dugaan Mahasiswi yang dicabuli oleh Dosen FH Unsrat berinisial VZL dengan modus rekap nilai. Dosen FH Unsrat itu disebut melakukan aksi cabulnya terhadap mahasiswi di dalam mobil. Kejadian pada bulan November 2021 di sekitar parkiran Fakultas, di dalam mobil. 

Saat itu dosen panggil mahasiswi yang bersangkutan (korban) untuk merekap nilai bersama, kata Ketua LAM FH Unsrat berinisial GR saat ditemui wartawan. GR mengatakan pelaku awalnya membujuk korban bertemu melalui telepon seluler namun ditolak korban. Menurutnya, pelaku juga pernah mengajak dengan cara dipaksa tidur bersama disebuah kamar. Dosen (pelaku) itu pernah memegang tangan Mahasiswi (korban) dan menyuruh memegang kemaluanya dengan dipaksa. Dengan melihat kasus posisi tersebut di atas sehingga GR melakukan audiensi dengan pimpinan rektorat UNSRAT agar masalah tersebut ditindaklanjuti. GR berharap Permendikbud-Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi harus di Implementasikan sebagai Instrumen Hukum Formil dalam menangani perkara tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh Oknum Dosen tersebut. GR berharap dengan adanya masalah tersebut di atas pihak kampus (UNSRAT) segera membuat Satuan Tugas (Satgas) sesuai yang diatur dalam Permendikbud-Ristek No.30 Tahun 2021 terkait dengan masalah kekerasan seksual yang terjadi di UNSRAT. 

Kekerasan seksual di Universitas umumnya juga banyak menggunakan relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi atau pembimbing penelitian dengan modus mengajak korban untuk keluar kota, mengajak bertemu kepada mahasiwa dengan alasan rekap nilai di luar jam operasional kampus lalu dilakukanlah pelecehan seksual fisik dan non fisik di tengah modus tersebut yang terjadi baik di dalam maupun diluar kampus. 

Sehingga dengan masalah – masalah kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi, Mendikbud-Ristek menerbitkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Aturan ini dimuat dalam Peraturan Mendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditanda tangani oleh Nadiem Makarim pada tanggal 31 Agustus 2021. 

Mendikbud-Ristek meminta seluruh perguruan tinggi melakukan penguatan tata kelola pencegahan kekerasan seksual dengan membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
1) Metode Pengkajian 

Penelitian hukum normatif pada hakikatnya mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai aturan-aturan atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang  sehingga metode penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini adalah dengan cara mengkaji dan menganalisis isi aturan dalam Permendikbud-Ristek No. 30 Tahun 2021.

2) Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana tinjauan permendikbud-ristek no. 30 tahun 2021 dalam penanganan kekerasan seksual ?
2. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual menurut permendikbud-ristek no. 30 tahun 2021 ?

B. PEMBAHASAN
1) Tinjauan Permendikbud-Ristek No. 30 Tahun 2021 Dalam Penanganan Kekerasan Seksual 
Maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus sudah bukan hal yang mengherankan lagi bagi para civitas kampus yang terlibat didalamnya. Justru, lingkungan kampus adalah salah satu tempat yang paling rawan terjadinya kekerasan seksual dikarenakan adanya ketimpangan relasi kuasa yang melekat antara civitas kampus, seperti antara dosen dan mahasiswa.

Oleh sebab itu, dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diundangkan pada tanggal 03 September 2021 kemarin membawa kabar baik bagi civitas akademika di lingkungan kampus yang merasa belum aman, bahkan dengan hadirnya Permendikbud-Ristek No.30 Tahun 2021 bisa menjadi landasan untuk terbentuknya ruang aman di dalam kampus yang bisa menjamin dan melindungi segenap warga di lingkungan perguruan tinggi serta menjadi support system yang nantinya akan mendukung keberadaan penyintas yang kadang masih sulit ditemukan di tempat lain. 

Dalam Permendikbud-Ristek No.30 Tahun 2021 Pasal 1 ayat (1) definisi kekerasan seksual adalah sebagai berikut: “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.” Sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut menyiratkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi dalam berbagai bentuk baik secara fisik maupun nonfisik.  

Kekerasan seksual berasal dari dua kata, yaitu kekerasan dan seksual, yang di dalam bahasa Inggris disebut sexual hardness mempunyai arti kekerasan, tidak menyenangkan dan tidak bebas 

Dalam hal penanganan terhadap kekerasan seksual, dalam Pasal 10 dijelaskan mengenai penanganan yaitu:
a. Pendampingan 
b. Perlindungan
c. Pengenaan sanksi administratif
d. Pemulihan korban
Penjelasan lebih lanjut mengenai keempat jenis penanganan tersebut dijelaskan dalam pasal-pasal berikutnya, Pendampingan yang ditujukan kepada Korban dan Saksi yang berstatus Mahasiswa, Tenaga Pendidik maupun Warga Kampus  disesuaikan dengan memperhatikan kebutuhan apabila Korban/Saksi adalah penyandang disabilitas yang setuju atas pendampingan dan apabila tidak memungkinkan untuk memberi persetujuan maka dapat diberikan oleh Orang Tua/Wali (Pasal 11) 
Perlindungan diberikan kepada Korban dan Saksi yang berstatus Mahasiswa, Tenaga Pendidik maupun Warga Kampus guna menjamin keberlanjutan pendidikan bagi Mahasiswa, keberlanjutan pekerjaan bagi Tenaga Pendidik, menjamin perlindungan atas ancaman fisik/non-fisik, perlindungan kerahasiaan identitas, penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas, akses terhadap penyelenggaraan perlindungan, penyediaan rumah aman. 

Pemulihan Korban diberikan hanya pada Korban dalam Pasal 20 berupa : tindakan medis, terapi fisik, terapi psikologi dan/atau bimbingan sosial dan/atau rohani yang dalam pemulihan tersebut dapat melibatkan dokter/tenaga kesehatan lain, konselor, psikolog, tokoh masyarakat, pemuka agama, pendamping lain sesuai kebutuhan korban termasuk korban penyandang disabilitas. Namun, apabila dalam kasus tertentu seorang saksi merasakan stres traumatis sekunder (secondary traumatic stress), pemulihan juga dapat diberikan kepada Saksi berdasarkan persetujuan. 

Dalam pengimplementasian pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, maka Universitas harus membentuk Satuan Tugas yang dibentuk pertama kali oleh Panitia Seleksi (Pasal 23 ayat (2)) yang berjumlah gasal yaitu paling sedikit 3 (tiga) dan paling banyak 7 (tujuh) sesuai (Pasal 24 ayat (1)) yang memperhatikan keterwakilan keanggotan perempuan paling sedikit ⅔  (dua per tiga) dari jumlah keanggotaannya (Pasal 24 ayat (2)) yang terdiri dari unsur Mahasiswa, Tenaga Pendidik, Pendidikan (Pasal 24 ayat (3)). 

Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, Satuan Tugas menerapkan mekanisme penanganan kekerasan seksual yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 38 hingga Pasalnya yang ke 50. Dalam Pasal tersebut dibahas bahwa mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual melalui beberapa tahapan yaitu : 
a. penerimaan laporan 
b. pemeriksaan  
c. penyusunan kesimpulan dan rekomendasi 
d. pemulihan ; dan 
e. tindakan pencegahan keberulangan. 
Dalam tahap mekanisme tersebut dijelaskan bahwa : 
a. Tahap Penerimaan Laporan diterima dari Saksi dan Korban yang melapor lewat telepon, pesan singkat elektronik, surat elektronik atau website resmi Perguruan Tinggi yang memungkinkan untuk diakses bagi setiap civitas Akademika kampus yang ingin melapor, bahkan dalam hal pelaporan Saksi/Korban Pelapor adalah penyandang disabilitas akan dilakukan mekanisme yang mudah diakses. Setelah menerima laporan Satuan Tugas kemudian melakukan identifikasi pelapor, penyusunan kronologi peristiwa kekerasan seksual, pemeriksaan dokumen/bukti, inventarisasi kebutuhan pelapor, pemberian informasi mengenai hak pelapor dan mekanisme penanganan serta risiko yang akan dihadapi. 
b. Tahap Pemeriksaan dilakukan secara tertutup yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan dan/atau bukti terkait dengan laporan kasus kekerasan seksual, dalam hal korban/saksi dan atau terlapor adalah penyandang disabilitas maka akan diberikan pendampingan dan pemenuhan akomodasi yang layak yang disediakan oleh Satuan Tugas. Pemeriksaan berlangsung selama paling lama 30 hari kerja yang kemudian hasilnya akan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan. 
c. Tahap Penyusunan Kesimpulan dan Rekomendasi, kesimpulan artinya memuat pernyataan terbukti atau tidak terbuktinya kekerasan seksual yang dilapor, yang di dalam kesimpulan itu memuat setidaknya identitas pelaku, bentuk kekerasan seksual, pendampingan korban/saksi dan perlindungan korban/saksi. Rekomendasi kemudian dilakukan apabila terbukti/tidak terbukti terjadinya kekerasan seksual, rekomendasi terbukti setidaknya memuat usulan untuk pemulihan Korban, sanksi kepada pelaku, dan tindak pencegahan keberulangan. Sedangkan rekomendasi tidak terbukti berisi mengenai pemulihan nama baik terlapor. Rekomendasi ditetapkan dengan keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi. 

2) Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Menurut Permendikbud-Ristek No. 30 Tahun 2021
Penerapan sanksi yang dilakukan pihak Perguruan Tinggi dan Satuan Tugas sesuai dengan yang diatur oleh peraturan ini tentunya akan menciptakan rasa aman jika pengaplikasiannya dilakukan secara baik dan benar. 
Pasal 14:
(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 terdiri atas:
a. sanksi administratif ringan 
b. sanksi administratif sedang
c. sanksi administratif berat
(2) Sanksi administratif ringan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa: 
a. teguran tertulis
b. pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa 

(3) Sanksi administratif sedang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a. Pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan
b. Pengurangan hak sebagai Mahasiswa meliputi:
1. Penundaan mengikuti perkuliahan (Skors)
2. Pencabutan beasiswa

Tentunya ketentuan di atas merupakan pasal penegasan bagi pelaku kekerasan seksual oleh sebab itu, dengan keluarnya dan disahkannya Permendikbud-Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menjadi angin segar bagi mereka sebagai penyintas yang menanti-nantikan keadilan yang sebenarnya, walaupun Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini belum dilaksanakan sepenuhnya di kampus-kampus yang ada di Indonesia akan tetapi diharapkan agar semua warga kampus yang terlibat bisa sama-sama sadar dan saling mengawal pengimplementasiannya dengan baik agar sasaran dan tujuan dibentuknya aturan ini tetap tepat sasaran dan dapat mengurangi kasus kekerasan seksual di lingkungan tempat untuk menimba ilmu. 

C. PENUTUP
1) Kesimpulan
Setelah mengkaji mengenai Permen tersebut dalam perspektif yuridis normatif, dapat dilihat apa yang menjadi maksud dan tujuan diterbitkannya Permen tersebut adalah: 
- Memenuhi hak warga negara untuk mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai dengan Pancasila dan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
- Mengoptimalkan penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi yang bebas dari segala bentuk kekerasan seksual atau kekerasan apapun. 
- Meningkatkan kualitas Pendidikan Tinggi baik Universitas maupun Fakultas. 
- Memberikan penjaminan hukum terhadap warga civitas akademika dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

2) Saran 
Dalam tulisan ini diharapkan kepada pihak Perguruan Tinggi untuk: 
- Ketika terjadi kekerasan seksual di perguruan tinggi kiranya segera dilakukan penanganan agar Permen PPKS dapat memberi kepastian hukum bagi korban  
- Diharapkan kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mensosialisasikan ke warga civitas akademika mengenai Permendikbud-Ristek No. 30 Tahun 2021  
- Diharapkan kepada pimpinan perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas yang profesional dan berintegritas dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. 
- Ketika dalam melakukan penanganan perkara terhadap pelaku kekerasan seksual di dalam ranah Universitas lewat prosedur yang diatur menurut Permendikbud-Ristek No.30 Tahun 2021 mengalami banyak kendala maka disarankan kepada pelapor untuk meningkatkan perkara tindakan kekerasan seksual ke ranah Kepolisian. 

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
H. Ishaq, 2017, “Metode Penelitian Hukum”, Bandung: CV ALFABETA

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily Hassan, 1996, “Kamus Inggris - Indonesia”,  Jakarta : Gramedia Pustaka Utama 

Lamintang P.A.F, 1997, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti 

Website/Internet:
Asnida Riani, Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampusn, Jangan Dibiarkan, Di akses dari, https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4176128/6-kasus-kekerasan-seksual-di-lingkungankampus-jangan-dibiarkan, Pada tanggal  8 Februari 2022.

Di akses dari, https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/webOld/file/pdf_file/2020/Lembar%20Fakta%20KEKERASAN%20SEKSUAL%20DI%20LINGKUNGAN%20PENDIDIKAN%20(27%20Oktober%202020), Pada tanggal 8 Februari 2022

Friski Riana, Deretan Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Kampus, Di akses dari, https://nasional.tempo.co/read/1537859/deretan-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-di-kampus/full&view=ok, Pada tanggal 8 Februari 2022.
 
Maya Indah S, Perlindungan Korban  -  Suatu Perspektif Di akses dari, http://repository.unissula.ac.id/16085/5/bab%20I.pdf,  Pada tanggal 8 Februari 2022.

Trisno Mais, LAM FH Unsrat Manado Ungkap Dugaan Dosen Cabuli Mahasiwi Modus Rekap Nilai, Di akses dari, https://news.detik.com/berita/d-5927297/lam-fh-unsrat-manado-ungkap-dugaan-dosen-cabuli-mahasiswi-modus-rekap-nilai, Pada tanggal 8 Februari 2022 

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Peraturan Mendikbud-Ristek No.30 Tahun 2021








Comments