Maling Kok Dilindungi : Realitas Negara Tunduk Terhadap Koruptor Dari pada Asas “Equality Before The Law” Perihal Korupsi 50 Jt Tidak Dipidanakan

Dean Praditya Kermite, S.H

Penulis :Dean Praditya Kermite, S.H

A. Asas Equality Before The Law dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Suatu Negara yang berdasarkan atas hukum selalu mencita-citakan suatu tertib hukum. Adapun bentuk ketertiban paling sederhana dan tetap yang harus di laksanakan ialah pencegahan tindakan-tindakan kriminal, baik secara preventive maupun secara represif, setiap tindakan-tindakan yang di ambil atas nama hukum dari sang penegak harusnya mengedepankan prinsip-prinsip umum dalam penegakan hukum.

Equality Before the Law atau persamaan dihadapan hukum, asas persamaan dihadapan hukum merupakan asas dimana terdapatnya suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa ada suatu pengecualian, Sebagai negara hukum, Indonesia menerapkan aturan tersendiri dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara umum, hukum dicirikan dengan adanya perintah dan larangan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalamnya, ini menjadi hal prioritas Ketika penerapannya diindonesia, dikarenakan di atur jelas dalam konstitusi dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin rule of law yang juga menyebar pada berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada tanggal 30 April 1847 melalui Stbl.1847 No. 23, tapi pada masa itu asas ini tidak sepenuhnya diterapkan, karena adanya politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.

Sesungguhnya asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang berlaku umum (General) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain. Dalam hal in persamaan dihadapan hukum, seolah-olah memberi gambaran didalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan “persamaan” antara wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi, itulah sesungguhnya yang menjadi asas persamaan dihadapan hukum secara nyata, tanpa harus membedakan strata.

Asas persamaan dihadapan hukum merupakan asas dimana terdapat kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa adanya pengecualian. Asas kesamaan didalam hukum itu bisa dijadikan sebagai standar untuk mengafirmasi kelompok-kelompok marginal juga kelompok minoritas. Namun karena ketimpangan sumberdaya, baik kekuasaan, modal maupun informasi, asas tersebut sering didominasi oleh kelompok penguasa, pemodal sebagai pelindung atau tameng atas aset dan kekuasannya.

Persamaan dihadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan dihadapan hukum bagi semua orang, maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke pengadilan dan telah berhadapan dengaan majelis hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh majelis hakim tersebut (audi et alteram partem), Mengartikan persamaan di hadapan hukum secara dinamis dipercaya akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya.

Berpegang pada asas equality before the law (sama kedudukan dalam hukum dan pemerintahan) seharusnya tidak ada terdakwa tindak pidana korupsi yang mendapat perlakukan istimewa antara satu dengan pelaku lainnya, Dalam rangka supremasi hukum, lembaga yang paling banyak disorot adalah lembaga peradilan. Sebagai salah satu ciri Negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah independent dan imparsial (tidak memihak). Peradilan yang bebas pada hakikatnya berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan tidak memihat ditujukan kepada proses pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses negatif, sesuai dengan apa yang menjadi fungsi hukum acara pidana untuk melindungi dan memelihara keseimbangan antara kepentingan hukum individu dan kepentingan hukum masyarakat tanpa terkecuali.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Karena itu, tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini dan semaksimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana semestinya sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakan pada umumnya
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat 1 “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah masuk dalam wilayah akut atau dapat dikatakan sudah pada titik yang sangat nadir. Korupsi dilakukan tidak saja secara bersama-sama, tapi sudah dilakukan secara sistemik oleh para pihak dengan harapan untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain, Ketidakberdayaan aparat penegak hukum dalam hal ini membuat semakin nyata bahwa tindak pidana korupsi harus segera dihentikan. Memulihkan kepercayaan pada aparat penegak hukum harus segera dilaksanakan. Rasa keinginan yang besar bagi para penegak hukum harus digelorakan. Adanya korupsi yang sangat luar biasa ini tentu menghambat keberlangsungan pembangunan di Indonesia.

Tindak Pidana Korupsi sebagai perilaku extra ordinary crime yang mengancam cita-cita negara yang memerlukan penanganan hukum secara lebih serius, betapa tidak korupsi sudah dimana-mana melanda masyarakat indonesia dan sudah memasuki semua kalangan, seperti sudah tidak ada rasa takut, malu serta dosa bagi mereka yang melakukan kejahatan tindak pidana korupsi. Penegakan tindakan pidana korupsi diIndonesia tersangka (pelaku tindak pidana) ini dalam proses penanganannya terdapat adanya perbedaan perlakuan dari penegak hukum yang senyatanya dalam perspektif Due Proses Of Law (jujur dan dan adil) secara asas hukum Equality Before The Law, mereka dalam satus sama kedudukan dalam hukum.

Dalam upaya menegakkan hukum melalui proses peradilan, maka proses tersebut harus mengikuti ketentuan hukum yang khusus mengaturnya. Dalam sistem peradilan di Indonesia undang-undang yang secara khusus mengatur tentang bagaimana proses peradilan tersebut harus dilakukan oleh negara melalui organ-organnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. dalam kontek asas kesamaan didepan hukum (equality before the law), ini berarti bahwa setiap aparat penegak hukum (dalam segala tingkat pemeriksaan) sama kedudukannya dengan tersangka atau terdakwa menurut KUHAP, bahkan termasuk pula perlakuan yang diberikan kepada setiap orang (warga negara) yang diperiksa harus mendapat perlakuan yang sama pula, tidak ada perbedaan tentang status, kekayaan, jabatan serta lainnya.

B. Inlegalitas Tindak Pidana Korupsi dibawah 50 juta tidak dipidana

Diberitakan, Jaksa Agung Burhanuddin menyatakan, telah meminta anggotanya untuk mengusut kasus-kasus korupsi di bawah Rp 50 juta dengan cara pengembalian kerugian negaranya saja.“Untuk tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta untuk diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara,” ucap Burhanuddin saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (27/1).Upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan. Jaksa Agung ST Burhanuddin yang memerintahkan jajarannya menyelesaikan kasus-kasus korupsi di bawah Rp 50 juta hanya dengan cara mengembalikan uang ke negara.

Maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia seharunya menjadi perhatian bagi penegak hukum dimana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi haruslah lebih gencar lagi, Sebenarnya tindak pidana korupsi itu ada kan karena ada niat dan kesempatan. Walaupun niat ada tapi kesempatan tidak ada, itu tetap bisa menjadi pemicu tindak pidana korupsi dan begitu juga sebaliknya, Adanya faktor utama ini seharusnya mampu menciptakan upaya-upaya pencegahan tindak pidana korupsi sebagai gerbang awal pencegahan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam membangun bangsa.

Hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia dan masyarakat, dan bertujuan menciptakan ketertiban tatanan di dalam masyarakat serta bertugas mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat , fungsi hukum sebagai social control juga berarti memaksa warga masyarakat untuk mau berperilaku sesuai hukum. Jika tidak mematuhinya atau melanggar hukum, sanksi akan diberikan. Hukum tertulis dituangkan dalam bentuk Bahasa yang berwujud peraturan-peraturan hukum konkret. Unutk memahami atau menerapkan isi peraturan hukum konkret, maka seseorang sarjana hukum harus mendalaminya ke lapisan yang lebih mendalam lahi , yaitu asas hukum. Makin dekat pada permukaannya maka makin jelaslah”profil” peraturannya

Jelas dalam undang-undang dasar mengatur soal equality before the law pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Sehingga dalam pelaksanaanya penegak hukum wajib menerapkan asas equality before the law.

Jika kita kilas balik ke belakang pada tahun 2015 ada kasus nenek asiani yang mencuri 7 batang kayu milik perhutani situbondo, Terdakwa dalam kasus pencurian kayu milik Perhutani Situbondo, Jawa Timur, Nenek Asiani, akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Situbondo, Rabu (23/4). Nenek Asiani dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan 15 bulan. Selain itu juta dikenai denda Rp 500 juta dengan subsider 1 hari kurungan. “Iya, Nenek Asiani divonis itu,” kata kuasa hukum Nenek Asiani, Supriono saat dihubungi CNN Indonesia usai persidangan

Sedangkan jika kita bandingkan pernyataan Jaksa Agung RI dalam rapat kerja Bersama komisi III DPR RI yang mana korupsi dengan nominal 50 juta di selesaikan dengan cara mengembalikan saja dengan maksud untuk Upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan, yang mana dengan pernyataan ini seakan negara mengiyakan proses hukum yang tumbul ke atas dan tajam ke bawah, halnya tindak pidana korupsi adalah extra ordinary crime yang mengancam cita-cita negara yang memerlukan penanganan hukum secara lebih serius.

Pernyataan ini selain bertentang dengan budaya anti korupsi yang ada dimasyarakat, pernyataan ini juga bersifat inlegalitas dan menabrak undang-undang yang berlaku di negara kita yang mana jelas tertulis pada Pasal 4 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”

C. Penutup

Pernyataan ini seharusnya tidak dilakukan penegak hukum kita dalam menjalankan tugasnya, budaya anti korupsi dikalangan masyarakat sementara gencar dibangun dan lewat pernyataan ini seakan mengugurkan budaya anti korupsi itu sendiri serta seakan memberi ruang bagi orang dalam melakukan tindak pidana korupsi yang tergolong sebagai extra ordinary crime yang seharusnya membutuhkan penangan yang serius oleh penegak hukum demi cita-cita negara Indonesia bebas dari korupsi.

Tindak Pidana Korupsi sebagai perilaku extra ordinary crime yang mengancam cita-cita negara yang memerlukan penanganan hukum secara lebih serius, betapa tidak korupsi sudah diman-amana melanda masyarakat indonesia dan sudah memasuki semua kalangan, seperti sudah tidak ada rasa takut, malu serta dosa bagi mereka yang melakukan kejahatan tindak pidana korupsi. Penegakan tindakan pidana korupsi di Indonesia tersangka (pelaku tindak pidana) ini dalam proses penanganannya seharusnya lebih serius dan mengikuti undang-undang yang berlaku dalam hal ini undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, jangan sampai terdapat adanya perbedaan perlakuan dari penegak hukum yang senyatanya dalam perspektif due proses of law (jujur dan dan adil) dan secara asas hukum equality before the law, satu pelaku dengan pelaku lainnya mereka dalam satus harus sama sama kedudukan dalam hukum, negara harus memperhatikan jangan sampai tersangka tindak pidana korupsi yang mendapat perlakukan istimewa yang akan menimbulkan penegakan hukum yang tajam kebawah dan tumbul ke atas.


Comments