ACTA DIURNA, Fispol- Pada Agustus-September 2021, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) melakukan riset melalui survei dan wawancara terhadap jurnalis perempuan di berbagai wilayah Indonesia. Hasil riset tersebut kemudian dipresentasikan dalam webinar yang bertajuk “Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia”, Sabtu (11/12/20211).
Dalam kesempatan ini, dipaparkan bahwa Survei berskala nasional itu menemukan, dari 1.256 jurnalis perempuan yang menjadi responden, sebanyak 85,7% responden pernah mengalami kekerasan sepanjang karir jurnalistik mereka. Bentuknya sangat beragam, seksual maupun nonseksual, secara langsung maupun tidak langsung, di ranah digital ataupun ranah fisik, yang juga mencakup diskriminasi di kantor.
Temuan memprihatinkan ini tentu merupakan tanda bahaya bagi seluruh pemangku kepentingan Pers, yang perlu semakin menyadari dan menghadapi fenomena yang sudah lama dirasakan.
Rahayu selaku Peneliti PR2Media mengatakan bahwa kekerasan
terhadap jurnalis perempuan terjadi pada ranah digital dan fisik. Jurnalis
menerima komentar mengganggu atau dilecehkan yang sifatnya non-seksual sebanyak
48% dan bersifat seksual sebanyak 32%.
“Berdasarkan riset yang kami lakukan, kekerasan terhadap
jurnalis perempuan itu terjadi di ranah digital dan fisik Contoh non-seksual ungkapan “wartawan bodoh”,
“liputan abal-abal”, “dapat bayaran berapa kamu dapat nulis begitu” dan
sebagainya. Jurnalis perempuan yang
bekerja di televis dan media daring paling banyak menerima komentar ini. Hal ini dipicu anggapan narasumber yang tidak
puas akan kinerja jurnalis perempuan," ujar Rahayu pada pemaparan hasil
riset.
Ia juga menambahkan bahwa, sebenarnya ungkapan yang bersifat
seksual tidak ada hubungannya dengan kerja sebagai jurnalis perempuan melainkan
lebih karena identitas mereka sebagai perempuan yang rentan untuk diganggu atau
dilecehkan secara seksual.
Salah satu jurnalis perempuan yang juga merupakan ketua Asosiasi
Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta, Shinta Maharani menceritakan pengalamannya
yang kerap kali mengalami kekerasan baik serangan fisik, verbal hingga peretasan
akun media sosialnya.
“Pada tahun 2015, saya mendapatan ancaman pembunuhan menggunakan parang karena meliput bisnis lukisan palsu perupa maestro. Tahun 2017, saya mengalami pelecehan secara fisik dan verbal saat ada liputan tambang ilegal pasir Gunung Merapi. Narasumber menawari kalau wawancara dilakukan di tempat penginapan tetapi saya menolak dan kemudian wawancara dilakukan di sebuah cafĂ©. Tetapi disana ia memegang pipi saya dan merayu dengan mengirim pesan via WhatsApp. Pernah juga akun media sosial saya diretas karena protes terhadap intel yang mengintrogasi dan memotret sekretariat AJI Yogya saat diskusi konflik agraria terhadap seniman Vietman pada tahun 2019. Ungkap Shinta.
Sementara itu, pemimpin Redaksi Konde, Luviana Ariyanti
turutserta memaparkan bahwa motivasi yang mendoroongnya menyuarakan isu-isu
kekerasan pada jurnalis perempuan adalah suara para korban.
“Disaat kita harus istilahnya menghidupi keluarga bekerja,
tetapi kita punya hati nurani bahwa ini tidak sesuai dengan hati nurani saya
nah saya harus gimana. Berani berbicara,
berani mengungkapkan dan berfikir berbeda,” tutur Luviana.
Menaggapi maraknya kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis
perempuan, Firmansyah Syamsi selaku Internews USAID MEDIA berharap melalui
webinar presentasi riset ini dapat
memberi manfaat dan pelajaran penting serta turut berupaya untuk mengantisipasi
kekerasan terhadap jurnalis perempuan.
Diketahui metode survei ini dilakukan kepada 22 jurnalis
perempuan Indonesia bagian Timur dan Indonesia bagian tengah.
Laporan riset yang dipresentasikan dapat diakses melalui
laman PR2Media.
Comments
Post a Comment