Polemik Kebebasan & Dilema Kemerdekaan Berekspresi Dalam Negara Demokrasi

 

Penulis: Louis A.W. Lolong

Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Tulisan ini dimulai dengan penegasan yang tercantum jelas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) serta kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada setiap orang, termasuk kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat dan berekspresi. Lantas, seberapa bebaskah kita mengungkapkan isi pikiran kita?

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita lihat terlebih dahulu apa esensi dari kata “Kebebasan” itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Kebebasan” mengandung makna keadaan bebas, sementara “Bebas” memiliki arti lepas sama kali atau tidak terikat pada sesuatu. Sehingga maksud kebebasan adalah keadaan dimana kita lepas dari sesuatu yang mengikat kita. Jika kita melihat dalam konteks kebebasan berekspresi, apakah itu artinya setiap orang sebebas-bebasnya mengeluarkan ekspresi mereka, tanpa menghiraukan yang ada di sekitarnya? Jelas tidak dan tidak semudah itu saudara-saudara!

Dalam memahami maksud kebebasan berekspresi, perlu ditinjau kembali makna kata kebebasan yang berkaitan dengan hal tersebut. Dalam Bahasa Inggris, kebebasan memiliki dua arti yakni freedom dan liberty. Perbedaan dua kata ini terletak pada subjektivitas pola pengkalimatan.

Kata freedom cenderung mengungkapkan kebebasan yang dimiliki secara personal dan menjadi tanggung jawab sendiri. Esensinya adalah ketika seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu tanpa gangguan atau hambatan dari pihak luar yang berpotensi mengganggu kebebasan yang ada. Contoh sederhana, ketika seseorang ingin melempar batu ke sungai sebagai sebuah tindakan yang dilakukan atas kehendak sendiri.

Kemudian, kata liberty yang mencakup ruang lingkup yang lebih luas yakni kebebasan dalam kehidupan sosial. Kebebasan yang dimaksud ialah adanya regulasi yang membatasi ruang gerak seseorang demi kepentingan bersama. Contohnya, ketika ada seseorang yang ingin melempar batu ke sungai tetapi memilih mengurungkan niatnya karena ada regulasi yang melarang melemparkan sesuatu ke dalam sungai. Dari sini kita bisa melihat manakah ”Kebebasan” yang akan kita bahas lebih lanjut.

Dalam konsep hidup bernegara, makna kebebasan yang diterapkan ialah liberty yakni apa yang kita perbuat dalam negara secara komprehensif diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku. Jadi, bagaimana dengan freedom? Apakah makna freedom tidak ada dalam negara? Tentu hal itu ada. Contohnya saja kita mengenal istilah freedom of speech yang diatur juga dalam undang-undang, sehingga polemik kata kebebasan ini masih menjadi suatu hal yang perlu didalami.

Dalam negara yang demokratis, freedom seseorang ditekan hingga tidak terciptanya kebebasan yang sebebas-bebasnya. Freedom pada hakikatnya sudah ada dalam liberty, dimana negara bertanggung jawab atas apa yang dilakukan warga negara dalam negaranya. Aksentuasi terhadap kebebasan dalam arti freedom, tentunya akan membawa dampak bagi banyak pihak yang mungkin tidak akan menerimanya. Sehingga kehidupan masyarakat secara bersama menjadi pialang utama dalam makna kebebasan dalam negara atau dalam bahasa undang-undang, seseorang harus tetap menghargai hak orang lain.

Setelah memahami makna kebebebasan dalam negara, pertanyaan berikutnya yakni apakah regulasi saat ini konsisten berpihak pada rakyat dalam rangka menjaga esensi kebebasan yang ada?

Sejauh ini kita telah diperlihatkan dengan berbagai problem yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah Undang-Undang (UU) Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Kenapa kita harus dipidana kalau hanya salah bicara? Kenapa mengkritik pemerintah kita akan dibungkam? Tentu hal inilah yang menjadi polemik.

UU ITE pada dasarnya adalah regulasi yang hadir untuk mengurangi kejahatan dalam transaksi online yang kian marak terjadi di Indonesia. Namun seiring berkembangnya zaman, UU ITE makin melebarkan sayap mulai dari pasal pencemaran nama baik hingga penyebaran hoax. Hal ini menjadi tanda tanya besar, apakah kebebasan dalam makna liberty yang diatur secara langsung oleh pemerintah membungkam setiap orang untuk berpendapat dan berekspresi?

Menurut survei Indeks Politik Indonesia, masyarakat semakin takut untuk mengemukakan pendapat dengan persentase 69,6% dari 1.200 responden yang diambil secara acak di setiap wilayah Indonesia. Menanggapi hal ini, akhirnya terang kebebasan yang ada perlahan-lahan dibungkam dengan regulasi yang seharusnya memihak rakyat. Kebijakan yang ada ibarat menjadi senjata bagi arogansi kekuasaan, sebagai alat pendukung yang kuat untuk melakukan represi terhadap hak-hak masyarakat.

Lantas, apakah semua peraturan yang ada salah? Tentu peraturannya baik untuk membatasi hal-hal yang dapat meresahkan masyarakat luas. Namun, apakah regulasi tersebut dijalankan dengan adil? Mari kita lihat lebih dalam lagi.

Di masa pandemi Covid-19, masalah tentang kebebasan berekspresi pun kian masif. Contoh problem yang terjadi baru-baru ini ialah kasus dr. Lois yang menghebokan media dengan mengatakan orang yang wafat selama pandemi ini dikarenakan interaksi obat. Karena dianggap menyebar berita hoax, dr. Lois pun dipolisikan, namun tidak ditindak secara pidana karena perlu penelitian ilmiah mendalam mengenai pernyataan yang beliau sampaikan sebelum diklaim sebagai penyebar berita bohong.

Kasus selanjutnya yang cukup menggemparkan publik yakni kritik BEM UI kepada presiden Joko Widodo dengan memberikan gelar “The King of Lip Service” karena perkataan sang presiden dianggap tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan selama beliau menjabat. Akhirnya, banyak yang mengkritik balik BEM UI serta aliansi mahasiswa lainnya karena diduga melakukan propaganda politik demi menyukseskan agenda “Jokowi End Game”. Presiden pun angkat bicara mengenai kritik yang dilontarkan BEM UI dan mengatakan bahwa pemerintah perlu dikritik demi kebaikan bersama tetapi perlu menggunakan bahasa yang sesuai dengan tata krama bangsa Indonesia.

Dalam kacamata netral, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi tentang problem-problem di atas. Kasus pertama, dr. Lois dengan pendapatnya tentu itu merupakan hak beliau, yang menjadi permasalahan disini adalah filter dan literasi masyarakat Indonesia dalam menangkap informasi, sehingga membuat keresahan baru yang berdampak pada hak dr. Lois dalam berpendapat.

Kasus kedua, presiden secara tidak langsung mengekang ruang bicara publik dimana BEM UI dianggap tidak memiliki tata krama yang ada dalam mengkritik. Jikalau memang kritik yang diucapkan keras, bagaimana esensi dari tata krama sendiri yang dapat membatasi pedasnya satu kritik? Sekali lagi, kebebasan disini makin dibatasi. Tak heran menurut survei, masyarakat Indonesia kian hari semakin takut mengeluarkan pendapat dan berekspresi secara bebas.

Tulisan ini hendak mengungkapkan bahwa kebebasan setiap orang dalam negara Indonesia belum menemui titik terang sebagaimana kebebasan yang dimaksud meskipun telah dijamin dalam konstitusi, UU HAM, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Memang negara Indonesia tidak menganut paham liberalisme, tetapi sebagai negara demokrasi tentunya patut menjunjung tinggi penegakan HAM yang didalamnya termaktub tentang hak mengekspresikan diri.

Esensi freedom yang kita miliki sudah dibatasi dengan baik karena berdampingan bersama regulasi yang menciptakan arti kebebasan baru, yakni liberty. Apakah perlu lagi dibatasi hingga dibungkam? Dilema antara kebebasan dan kebijakan kekuasaan diatas tak kunjung menemui titik temu karena faktor arogansi masing-masing pihak. Masyarakat ingin sebebas-bebasnya dan kekuasaan ingin menjaga palang kebebasan agar tidak terjadi masalah baru.

Dalam pandangan personal, pemerintah sebagai lembaga kenegaraan perlu lebih selektif lagi dalam mengeluarkan kebijakan undang-undang dan membasmi segala arogansi kekuasaan yang membikin regulasi sebagai instrumen memperkaya diri sendiri dan juga alat represi bagi hak-hak masyarakat umum. Untuk rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi, perlu dengan kritis dan cerdas lagi dalam memperbaiki badan negara kita agar semua yang dilakukan di masa sekarang bisa menjadi warisan berharga bagi generasi bangsa Indonesia ke depannya. Itulah sebabnya kedua pihak ini perlu menjalankan diskursus mendalam, dimana pemerintah menerima kritik yang ada dengan tujuan perbaikan ke arah yang lebih baik dan rakyat memberi kritik yang membangun, sehingga dapat menjadi terobosan yang berguna bagi bangsa dan negara.

Sesungguhnya, kebebasan berekspresi merupakan satu hal yang harus diperjuangkan sekaligus dipertanggung jawabkan. Akhir kata, saya mengutip kalimat dari George Washington, presiden pertama Amerika Serikat, "Jika kebebasan berbicara diambil, maka bodoh dan diam kita mungkin akan membawa seperti domba ke pembantaian."

 

SUMBER RUJUKAN:

Hutomo, Dimas. 2019. “Pembatasan Berkomentar di Medsos Merampas Hak Kebebasan Berpendapat?”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d2d75a9b17f0/pembatasan-berkomentar-di-medsos-merampas-hak-kebebasan-berpendapat/

Yahya, Achmad. 2020. “Survei IPI: 69,6 Persen Responden Setuju Publik Kian Takut Sampaikan Pendapat”, https://nasional.kompas.com/read/2020/10/25/16305891/survei-ipi-696-persen-responden-setuju-publik-kian-takut-sampaikan-pendapat

Online, KBBI. 2021. “Bebas”, https://kbbi.web.id/bebas

Nurita, Dewi. 2021. “Survei LP3ES: Publik Semakin Takut Menyatakan Pendapat”, https://nasional.tempo.co/read/1459846/survei-lp3es-publik-semakin-takut-menyatakan-pendapat

 

Comments