Soekarno, Jembatan Emas & Panca Azimat Revolusi

Penulis: Brien T.Y. Raintung

Merdeka hanyalah suatu jembatan! Sekalipun jembatan emas, sekarang jembatan itu jalan pecah jadi dua: Satu ke dunia sama rata-sama rasa! Satu ke dunia sama ratap-sama tangis!

Demikian kata Bung Karno tentang jembatan emas yang artinya kemerdekaan hanyalah "penghubung" antara perjuangan rakyat Indonesia dengan cita-citanya. Penghubung yang akan membawa Indonesia pada dua pilihan, jalan menuju dunia kesejahteraan atau dunia kesengsaraan?

Saat ini kita memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-75 Republik Indonesia. Berbagai rentetan peristiwa yang penuh gejolak secara historis, bahkan pertumpahan darah untuk membawa Indonesia pada jembatan emas yang diidam-idamkan itu. Akhirnya, pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Proklamasi yang secara gamblang disampaikan oleh proklamator Ir. Soekarno bersama Dr. Mohammad Hatta, yang kemudian menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, merupakan suatu momentum luar biasa. Momen yang telah dicatat sejarah dan selalu diingat oleh bangsa Indonesia.

Setelah mendengungkan proklamasi Indonesia merdeka, maka saat itu Indonesia telah sampai pada jembatan emas yang dikatakan Bung Karno. Ya, jalan yang dipilih dan jalan yang akan ditempuh dengan gotong royong yaitu jalan menuju dunia sama rata-sama rasa, kesejahteraan bersama rakyat, dan keadilan sosial.

Pilihan itu adalah sosialisme Indonesia, di mana kemelaratan, kesenjangan, penderitaan berusaha untuk dilenyapkan dan mewujudkan yang sebaliknya. Ya, sosialisme Indonesia yang esensinya kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang, penerapan nilai-nilai demokrasi secara konsisten, menentang penghisapan manusia terhadap manusia dan bangsa terhadap bangsa.

Tetapi, setelah 75 tahun merdeka, bagaimana kondisi perjalanan kita saat ini? Menuju sosialisme Indonesia? Atau kita menuju jalan sebaliknya? Dan apakah revolusi Indonesia sudah selesai pasca-Indonesia merdeka?

Melihat realitas momen ini, kita belum mencapai jalan yang diinginkan itu. Masih banyak masyarakat yang belum hidup layak, belum mendapatkan pendidikan memadai, bahkan sukar mencari nafkah untuk membiayai ekonomi keluarga dan berbagai problem lainnya. Seolah-olah tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur tidak bisa diwujudkan.

Memang untuk mencapai sosialisme Indonesia bukanlah hal yang mudah, tetapi juga bukanlah hal yang mustahil. Kita harus optimis! Karena itu mesti ada semacam alat, panduan atau pedoman untuk kita aplikasikan dengan sungguh-sungguh agar bisa mencapainya. Di sini Bung Karno memperkenalkan apa yang disebut sebagai Panca Azimat Revolusi, lima ajimat revolusi Indonesia¹.

Panca Azimat Revolusi ini adalah konsepsi-konsepsi Soekarno yang beliau gali dari bangsa Indonesia, yang disatukan dan dideklarasikan pada tahun 1965 yang justru menjadi titik balik kekuasaannya. Dalam Panca Azimat digunakan sebagai pedoman bagi revolusi Indonesia². Sebagai alat revolusi kemerdekaan menuju sosialisme Indonesia. Ya, revolusi yang belum selesai dan membutuhkan waktu untuk mencapai intensi bersama. Karena itu harus terus diperjuangkan secara kolektif untuk perubahan bangsa dan negara yang lebih baik!

Panca Azimat Revolusi itu adalah: Nasakom, Pancasila, Manipol/USDEK, Trisakti, dan Berdikari. Inilah kutipan pidato Bung Karno:

"Panca Azimat adalah pengejawantahan daripada seluruh jiwa nasional kita, konsepsi nasional kita, yang terbentuk disepanjang sejarah 40 tahun lamanya. Azimat Nasakomlah yang lahir terlebih dulu, dalam tahun 1926 ... Azimat kedua adalah azimat Pancasila yang lahir pada bulan Juni 1945 … Azimat ketiga adalah azimat Manipol/Usdek, yang baru lahir setelah kita 14 tahun lamanya mengalami masa Republik merdeka ... Azimat keempat adalah azimat Trisakti yang baru lahir tahun yang lalu ... Azimat kelima adalah azimat Berdikari, yang terutama tahun ini kucanangkan.”

Kelima konsepsi ini pun pernah beliau sampaikan dalam pidatonya ketika Indonesia mengalami konflik dengan Malaysia tahun 1962 hingga 1966. Inilah kutipan pidato Soekarno:

"Satu bukti bahwa dunia mendengarkan Republik Indonesia! Bahwa dunia merasa menerima dari Republik Indonesia itu konsepsi-konsepsi ... Republik Indonesia tegap mengeluarkan konsepsi. Pancasila, Manipol/USDEK, Berdikari, Trisakti, Nasakom ... Indonesia mempunyai Pancasila, memberikan Pancasila kepada dunia! Indonesia mempunyai Manipol/USDEK, memberikan Manipol/USDEK kepada dunia! Indonesia mempunyai Trisakti, memberikan Trisakti kepada dunia! Indonesia mempunyai Nasakom, memberikan Nasakom kepada dunia! Indonesia mempunyai Berdikari, memberikan ide Berdikari kepada dunia!"

Pertama, persatuan kaum Nasionalis, Agamis dan Komunis (Nasakom) dalam mencapai sosialisme Indonesia. Gagasan Bung Karno ini hadir pertama kali dalam bentuk Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme pada 1926 dalam tulisannya di Suluh Indonesia Muda.

Gagasan itu merupakan obsesi Soekarno pada yang namanya "persatuan". Usaha beliau untuk mengintegrasikan tiga arus ideologi besar kala itu. Jelas terlihat bahwa konsep Nasakom merupakan produk pemikiran yang eklektik, campur aduk sekaligus sintetikal³. Setelah merdeka, sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno menyebut lagi konsep ini dengan mengganti Islamisme dengan Agamis dan Marxisme dengan Komunis.

Azimat Nasakom ini sudah tidak relevan sejak terjadinya peristiwa berdarah G-30-S/PKI atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) dalam sejarah 1965. Kejadian yang berbuntut pada pembantaian besar-besaran anggota PKI, simpatisannya dan organisasi-organisasi yang mendukung atau memiliki ideologi yang serupa. Pada akhirnya dikeluarkanlah Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1965. 

Meskipun konsepsi Nasakom ini sudah tidak relevan, tetapi kita bisa mengambil pelajaran bagaimana pentingnya kesungguhan tekad untuk membangun persatuan dan konsolidasi dalam perbedaan, yang selaras dengan semboyan bangsa kita.

Kedua, Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia (Philosophy Grondslag), sebagai fondasi bangsa yang akan mencapai sosialisme Indonesia.

Untuk memahami Pancasila, kita harus mengkajinya secara kronologis. Mulai dari 1 Juni 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sukarno melahirkan istilah Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia⁴. Kemudian Pancasila disempurnakan hingga menjadi rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar Negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia⁵.

Berbeda dengan Nasakom, gabungan dari nilai tiap sila pada Pancasila adalah satu-satunya usaha Bung Karno yang mencoba, dengan berhasil, menjadikan segala perdebatan ideologis ke dalam sebuah komposisi yang utuh⁶.

Ketiga, keempat, dan kelima adalah instrumen-instrumen implementasinya. Mulai dari azimat Manifesto Politik (Manipol) dan lima kunci pelaksanaannya yaitu USDEK, azimat Trisakti sampai dengan azimat Berdikari. 

Manipol/USDEK, pada 17 Agustus 1959, Sukarno memperkenalkan Manifestasi Politik yang oleh MPRS dikukuhkan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol memuat lima pokok: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK)⁷.

Azimat ketiga ini sudah tidak relevan karena Demokrasi Terpimpin sudah ditinggalkan. Saat ini republik kita tidak lagi mengedepankan fokus pemerintahan hanya pada pimpinan negara, melainkan berfokus pada kedaulatan rakyat dengan demokrasi Pancasila. Begitu juga dengan Ekonomi Terpimpin yang sudah ditinggalkan setelah berdirinya Orde Baru, juga dengan adanya otonomi daerah saat ini, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan dan masyarakat daerahnya termasuk pembangunan ekonomi.

Trisakti, konsep yang digagas Bung Karno dan disampaikan dalam pidatonya pada 17 Agustus 1964 ini pun sama penekanannya: Berdaulat di Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi, dan Berkepribadian di Bidang Kebudayaan.

Tiga hal dalam Trisakti ini perlu dimiliki oleh sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia, tiga hal yang diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk pembangunan bangsa dan negara ke depan. Gagasan Soekarno ini pun pernah diadopsi sahabatnya Fidel Castro, Presiden Republik Kuba, sebagai acuan dalam memimpin negaranya.

Berdikari, disampaikan Bung Karno dalam pidatonya pada 17 Agustus 1965. Saat itu, beliau mendeklarasikan Panca Azimat Revolusi yang di dalamnya azimat kelima, Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Berdikari) dicanangkan tahun itu. Berdikari yang pada prinsipnya merupakan usaha menjadikan kekuatan sendiri sebagai landasan utama pembangunan. Pemerintah dan rakyat mestinya harus bisa mengoptimalkan potensi kekayaan alam Indonesia. Mengelola sumber daya alam yang ada dengan kekuataan dan kemampuan diri sendiri⁸.

Ya, kita harus Berdikari dengan tidak terlalu mengandalkan kekuatan asing. Apalagi sampai-sampai kita kembali dijajah secara tidak langsung oleh para pemilik modal yang berasal dari luar. Sungguh hal itu sangat tidak kita harapkan. Harga diri bangsa harus tetap dijunjung tinggi⁹.

Dalam Panca Azimat Revolusi ini, antara satu konsepsi dengan konsepsi lainnya juga saling berkaitan, mulai dari:

- Konsep Nasakom yang menekankan persatuan yang bisa kita temukan pada sila ketiga Pancasila, 

- Manipol/USDEK, tepatnya UUD 1945 di mana sejak awal Indonesia merdeka, dalam pembukaannya bisa kita temukan rumusan Pancasila sebagai dasar dalam pelaksanaan amanat konstitusi,

- Berkepribadian di Bidang Kebudayaan dalam Trisakti yang menekankan agar bangsa Indonesia menganut kebudayaan sendiri sebagai ciri khas bangsa, bisa kita temukan dalam Manipol/USDEK yaitu Kepribadian Indonesia,

- Konsepsi Berdikari sebagai azimat kelima dalam Panca Azimat Revolusi yang bisa kita temukan pada Trisakti, yakni Berdikari di Bidang Ekonomi.

Panca Azimat Revolusi adalah konsepsi-konsepsi untuk mencapai sosialisme Indonesia. Meskipun beberapa sudah tidak relevan, tetapi setidaknya kita bisa aplikasikan konsepsi yang masih relevan untuk mencapai jalan yang telah kita tentukan.

Mengingat kembali judul pidato terakhir Soekarno "Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah" (Jasmerah), yang disampaikan pada peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 1966, memberikan pemahaman pada kita bahwa pentingnya sejarah bagi suatu bangsa, dan mempelajari sejarah Indonesia merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia. 

Sejarah kita pelajari untuk ditarik pelajarannya, agar dalam menyusun masa depan kita tidak terbentur pada kesalahan-kesalahan yang sama¹⁰. Dengan mempelajari sejarah kita tahu pengalaman bangsa kita di masa lampau. Dengan mempelajari sejarah, konsepsi-konsepsi yang ada tidak tenggelam begitu saja, melainkan terus ada, dipercakapkan, bahkan beberapa bisa digunakan untuk zaman ini.

Dengan selebrasi kemerdekaan saat ini, sebagai bentuk jembatan emas yang telah kita raih 75 tahun yang lalu, sekiranya Panca Azimat Revolusi: Nasakom dan Manipol/USDEK bisa memperluas cakrawala berpikir kita tentang bernegara. Untuk Trisakti dan Berdikari supaya benar-benar bisa menjadi paradigma otoritas negara, dan diejawantahkan dalam kebijakan negara untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan. Dan untuk Pancasila selain sebagai dasar negara, kiranya benar-benar menjadi dasar bagi kita dalam memandang realitas hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Baik Bung Karno, kemerdekaan maupun kelima konsepsi ini, bisa kita gali lebih dalam dengan mempelajari berbagai literatur yang berkaitan dalam bentuk buku ataupun artikel, untuk melengkapi wawasan dan pengetahuan kita khususnya untuk bagaimana revolusi Indonesia ke depan. Ya, revolusi yang belum selesai, revolusi Indonesia yang berada pada rel revolusi dan masih terus berjalan, untuk sampai ke tempat perhentian akhir yakni sosialisme Indonesia.


Catatan Akhir :

¹Airlangga P. Kusman, et al., Sukarno, Marxisme dan Bahaya Pemfosilan (2016), hlm. 10.

²Panca Azimat, Wikipedia (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Panca_Azimat).

³Tempo, Sukarno Paradoks Revolusi Indonesia (Jakarta, 2018), hlm. 117.

Ibid. hlm. 21

⁵Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta, 2016), hlm. 16

⁶Tempo, op. cit. hlm. 96

Ibid. hlm. 24

⁸M. A. Fresky, 'Relevansi Penerapan Ekonomi Berdikari,' Medan Bisnis Daily, 5 Februari, 2018.

Ibid

¹⁰Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta, 2008), hlm. 26

Comments

Post a Comment