ACTA DIURNA – Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik (Fispol) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado,
memberikan tanggapannya terhadap tindakan semena-mena yang dilakukan salah satu
dosen kepada mahasiswa di Jurusan Pemerintahan Fispol, dalam mata kuliah Sistem
Kepartaian dan Kepemiluan.
“Saya mengambil kesimpulan, dosen ini menilai dari sisi moral dan etika
mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi. Saya menyesalkan ini. Karena di tengah
pandemi Covid-19, seharusnya dosen memberikan keringanan dalam proses belajar online,” ujar Mikael Tindi selaku Ketua
DPM Fispol.
Apapun alasan dosen, Mikael tidak setuju dengan keputusan yang seenaknya
mengambil hak mahasiswa di kampus. “Sikapnya semena-mena mencabut hak mahasiswa
untuk mendapatkan pembelajaran. Karena tanggung jawab dosen sendiri untuk
memberikan pengajaran, jangan sampai mencabut hak yang dipunyai mahasiswa hanya
karena kita punya otoritas,” pungkasnya.
Mikael meminta pengertian dan bimbingan seluruh tenaga pendidik di Fispol, jika ada
mahasiswa yang masih terkendala dan bingung untuk mengakses perangkat e-Learning sebagaimana mestinya. Lebih
baik lagi jika dosen bersedia mendampingi mahasiswa untuk menyelesaikan masalah
teknis yang ada.
“Karena dari pihak universitas tidak memberikan sosialisasi tentang
e-Learning ini, jadi menurut saya wajar-wajar saja kalau mahasiswa kebingungan.
Nah peran dosen itu untuk membimbing mahasiswa, jangan sampai dosen sendiri
yang membiarkan mahasiswa. Itu salah,” imbuh Mikael.
“Terkait pertanyaan apakah dosen pantas berbicara layaknya arogan
seperti itu, menurut saya selaku orang berpendidikan, tidak layak sama sekali
beliau berbicara seperti itu,” cetus Mikael kepada Pers Mahasiswa Acta Diurna, Jumat (3/4/2020).
Untuk menyinambungkan perkara tersebut, Mikael memutuskan, “Akan
menindaklanjuti ke pimpinan fakultas terkait masalah ini. Khususnya WD 1
(Wakil Dekan Bidang Akademik Fispol, red).”
Sementara itu, argumen lain datang dari mahasiswa (JT) yang menjadi
korban tindakan semena-mena dosen (SS). JT dan temannya yang dikeluarkan dari
kelas online SS, ingin kembali memberikan klarifikasi mengenai beberapa hal yang
ditudingkan SS kepadanya.
“Saya ingin pertanyakan kembali sistem absensi yang diberlakukan dosen.
Kalau memang mahasiswa dinyatakan tidak lulus jika tiga kali alpa dalam
kelasnya, kenapa tidak pernah diberitahukan jauh sebelumnya? Dan kenapa hanya
saya dan teman saya yang dikeluarkan secara tiba-tiba? Sedangkan masih ada juga
mahasiswa lain dengan jumlah alpa yang sama,” unggahnya.
“Mungkin dosen merasa tersudutkan, lalu seakan menggunakan absen ini
untuk ‘memukul’ balik. Karena saya sendiri tidak pernah bermaksud menyudutkan
dosen. Hanya mengkritik dan memberikan masukan, dengan tujuan mewakili
mahasiswa lain yang masih bingung dengan sistem pembelajaran daring ini,” tambah
mahasiswa itu.
Kembali pada akar masalah, JT menerangkan, “Ada jejak digital berupa
chat, ketika mahasiswa bertanya di grup kelas dan tidak direspon dosen. Kami pikir
mungkin sibuk, tapi saat dichat pribadi tetap tidak direspon. Sedangkan dosen waktu itu memberikan tugas berbatas 30 Maret 2020 untuk inputnya. Sementara registrasi e-Learning sering terkendala, dan setiap
kami bertanya pada dosen tidak ditanggapi. Jadi saya meminta kepada dosen untuk
bertindak baik kepada mahasiswa.” (Andre
Marentek)
Comments
Post a Comment