Apakah Perempuan yang Salah?


Penulis : Alfian Tempongbuka

Acta Diurna - Kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi, hal tersebut juga dirasakan seorang mahasiswa di Politeknik Nusa Utara kabupaten kepulauan Sangihe dengan inisial SFM.

Sekilas historis tentang penindasan terhadap perempuan, pada zaman monarki Absolut atau kerajaan, kekerasan begitu marak terhadap perempuan, hal tersebut juga terjadi di Nusantara semisalnya dizaman Sultan Hamengkubuwono VII memiliki 18 istri (permaisuri dan selir).


Memang Indah dan menyenangkan bagi istri Sultan yang berkedudukan sebagai permaisuri atau istri utama. Ia tampak selalu mendampingi sang suami tercinta. Tetapi tidak demikian halnya dengan selir-selir sultan. Hati selir-selir itu, barangkali lebih banyak terluka daripada bahagia. Lahirnya memang tunduk, setia, patuh, dan taat kepada sultan tetapi batinnya memberontak terhadap keadaan.

Budaya patriarkis terbungkus dengan sangat rapi, bahkan dilanggengkan sampai dengan saat ini. Ketika seorang perempuan diperkosa hal itu dianggap tidak terlalu serius, bahkan selalu ada hal yan ditempelkan pada diri korban, mulai dari berpenampilan, keluar larut malam dan lain sebagainya maka jelasnya dalam hal ini ruang kreativitas bagi seorang perempuan sangatlah terbatas.

Kondisi ini masih terus terjadi bahkan dianggap ini adalah cara ampuh untuk menjaga anak perempuan, sehingga jangan heran jika kebanyakan yang aktif dalam  ruang Organisasi terlebih organisasi gerakan adalah kaum laki-laki.

Organisasi Gerakan seharusnya menjadi lahan subur buat perempuan dalam memberontak, memperjuangkan untuk menghilangkan segala bentuk penindasan terhadapnya. Akses tersebut bukan hanya sekedar tak adanya keinginan dari diri seorang perempuan tapi hukuman lingkungan sosial juga berpengaruh sangat besar, semisal dengan justifikasi seorang perempuan yang berkawan dengan laki-laki atau pulang larut malam adalah perempuan yang tak jelas, dan itu dianggap hanya menjadi ranahnya kaum laki-laki.

Membicarakan kebebasan tanpa kebebasan perempuan adalah hal yang absurd, tak bermaksud menciptakan dominasi perempuan, tapi sangatlah elok jika perempuan dan laki-laki hidup berdampingan tanpa kekerasan. 

Adapun yang berkata bahwa hari ini yang tertindas adalah kaum lelaki, didasarkan pada kurang turutnya istri dalam urusan domestik, istri lebih mengutamakan dirinya daripada anak. Serta hal yang lebih trend karna tak pernah mendengarkan apa kata sang pacar. 

Hal ini memang bukan hanya berlangsung saat ini, tapi punya historis panjang selebihnya karena cengkraman budaya patriarkis, maka suatu hal yang sangat terang benderang bahwa hari ini tancapan kuku budaya patriarkis masih sangatlah kuat.

Akhir kata jangan pernah kau mengganggap sepeleh kekerasan yang terjadi pada perempuan, sebab kelak jika kekerasan ini tak berkesudahan orang terdekatmu bahkan anak perempuanmu juga terancam menjadi korban penindasan perempuan.(Redaksi)

Comments