Pilkada dan Pemda Amburadul


Oleh : Ferry Daud Liando

Acta Diurna - Pekan lalu dua Ilmuwan Prof Ramlan Surbakti dan Prof Djohermansyah Djohan menyajikan evaluasi Pemerintahan Daerah (Pemda) secara beturut-turut di media nasional. Prof Ramlan mengangkat topik "Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah" (Kompas, 23/11) dan sehari sebelumnya Prof Djohan mengangkat topik "Reformasi Birokrasi Pemda" (Kompas, 22/11).

Keduanya adalah guru sekaligus mentor saya. Ketertarikan saya mendalami peminatan Pemilu/Pilkada dalam bentuk penelitian dan pengajaran sesungguhnya  terinspirasi dari pemikiran-pemikiran Prof Ramlan. Saya pernah diajak masuk dalam tim beliau merumuskan draft naskah akademik Kodifikasi UU Pemilu.

Walaupun pertemuan awal sudah terjadi pada tahun 2012 ketika hendak merumuskan draft UU pemilu tahun 2014. Beliaupun menjadi mentor ketika saya bersama akademisi di sejumlah kampus mendirikan Konsorsium Tata Kelola Pemilu yang kini melaksanakan program pendidikan Magister Tata Pemilu yang diinisiasi KPU dan Bawaslu RI.

Pengalaman panjang sebagai birokrat dan akademisi, Prof Djo adalah inspirasi. Saya dan Mantan Dirjen Otomomi daerah itu kini ditunjuk pemerintah sebagai tim ahli otonomi daerah. Tulisan-tulisan beliau tertata rapi pada koleksi kliping di ruang kerja saya. Gagasan  Prof Ramlan dan Prof Djo itu tak sekedar memiliki kemiripan tapi saling berkorelasi erat terutama pada evaluasi kinerja Pemeritahan Daerah.

Prof Ramlan menyorot kebijakan publik produk Pemerintahan Daerah. Bangsa ini mengoleksi banyak kebijakan publik. Untuk membiayainya dibutuhkan anggaran yang semakin besar. Namun sayangnya kebijakan itu kerap tidak di evaluasi apakah kebijakan itu telah mencapai tujuan atau tidak.

Pengalaman saya sebagai peneliti di tingkat lokal, pandangan Prof Ramlan itu tak bisa di bantah. Sebagian besar kebijakan yang dirumuskan tidak menjawab sebagaimana landasan filosofis dan sosiologis dari kebijakan itu. Sebagian besar kebijakan disusun sepertinya sekedar alasan aparat untuk memperoleh pendapatan tambahan atau sekedar alasan untuk serapan anggaran.

Kebijakan sifanya rutin dan sangat hampa inovasi. Rumusan Rencana Kerja Pemeritah  Daerah (RKPD) tak ubahnya dokumen  copy paste dari program tahun-tahun sebelumnya. Proses Bottom Up dan partisipatif dalam perumusan kebijakan publik tak semua unit pemerintahan melaksanakan dan kalaupun ada, kondisinya hanyalah seremonial dan formalistik.

Terdapat kebijakan yang teraktualisasi melaui program tak ubahnya dalih agar perangkat daerah bisa menikamati fasilitas Pemerintah ke luar negeri seperti program festival, pagelaran budaya, expo dan lainnya. Kesempatan ini manfaatkan aparat, tim sukses kerbat Kepala Daerah bisa sampai ke luar negeri dengan alasan sosialisasi.

Tahun anggaran pada momentum Pilkada kerap diadakan program yang sifanya menguntungkan calon incumbent. Semua perangkat daerah diwajibkan merumuskan kebijakan yang berkaitan langsung dengan popularitas atau elektabilitas petahana. Anggaran bansos dan humas biasanya meningkat dalam APBD di tahun Pilkada.  RKPD nyaris menyimpang jauh dari dokumen RPJMD, bahkan tak memiliki korelasi sama sekali. Bahkan distribusi program dan anggaran Provisni meningkat jauh di kabupaten/kota yang hendak melaksanakan Pilkada jika salah satu kontestannya mendapat dukungan gubernur.

Dalam hal kebijakan produk hukum di Daerah.  Pada tahun 2016, sebanyak 3.032 Perda yang dibatalkan. Alasan pembatalan itu disebakan oleh sejumlah hal. Namun kebanyak Perda itu karena meyimpang dari kebutuhan filosofis, sosiologis dan yuridis. Ditemukan banyak Perda pesanan dari pihak-pihak yang berkepentingan seperti pengusaha ataupun kelompok agama dan adat. Jumlah diatas belum di hitung dengan Perda laci atau Perda mati. Jenis ini adalah Perda yang hanya sampai ditetapkan dan diundangkan, namun tidak sampai diterapkan. Padahal anggaran pembahasan Perda bisa mencapai ratusan juta.

Koordinator Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mengatakan bahwa satu Perda bisa menelan anggaran 1 hingga 2 milyar. Anggaran itu untuk mengundang tim pakar, penelitian, Pansus DPRD, studi bading, rapat paripurna dan lain-lain. Tidak optimalnya kebijakan publik Pemerintah Daerah makin diperparah oleh kondisi pelayanan publik yang memprihatinkan.

Meminjam kajian Bill Haris dan Many Morgan (2004) Prof Djo mengatakan kondisi birokrasi Pemerintah daerah di Indonesia  sangatlah memprihatinkan. Capaian birokrasi Pemda berjalan sangat lamban. Komitemen para aktor terkesan masih berjalan setengah hati. Pandangan Prof Djo ini bukan tanpa dasar. Lihat saja apa yang diperintahkan Pak Presiden Joko Widodo untuk menialam struktur jabatan eselon lll dan lV. Motifnya untuk menyederhanakan pelayanan publik yang dinilainya sangat buruk. Pelayanan publik berkualitas adalah hak setiap warga negara.

Di negara maju, indikator untuk menilai keberhasilan Pemerintah bukan diukur seberapa sering Pemerintah daerah mengoleksi banyak  penghargaan sebagiamana yang terjadi sekarang ini (WTP, APBD tercepat, serapan tertinggi, PAD, pertumbuhan ekonomi,  anugerah pesona Indonesia, Swasti sabah, kota ramah anak, Adipura, kabupaten sehat dll).

Ukuran keberhasilan Pemerintah sangat diukur seberapa bagus Pemerintah memberikan pelayanan publik bagi masyarakatnya. Pelayanan yang baik adalah pelayanan yang berkualitas, adil, cepat dan tepat, tidak menerima suap, suasana pelayanan yang bersih dan menyenangkan. Namun masih sedikit daerah yang benar-benar mampu menerapkan pelayanan seperti ini.

Infrastruktur buruk akibat anggaran dipotong untuk keuntungan pribadi, sumber daya aparat yang tidak profesional, pengawasan DPRD yang lemah serta pengawasan internal yang tidak maksimal. Sejak tahun 2015, Ombudsman RI menerima banyak aduan buruknya pelayanan publik. Posisi tertinggi ada pada pemerintah daerah (2489) laporan, kepolisian (801) laporan, instansi pemerintah/kementerian (700 laporan) badan pertanahan nasional (562). Sedangkan maladministrasi yang menempati tiga terbanyak yaitu penundaan berlarut  2.215 laporan (35,33%), penyimpangan prosedur  1.490 (23,76%), dan tidak memberikan pelayanan 1.080 laporan (17,22%). Kebijakan pemilihan Kepala Daerah harus diakui menjadi salah satu satu penyebab bagi buruknya kebijakan ataupun pelayanan publik di Daerah.

Pertama, Proses seleksi calon Kepala Daerah oleh Parpol belum banyak melahirkan pemimpin yang inovatif dan kreatif. Kekuatan terbesar keterpilihan calon bukan karena karya-karya inovatif yang dimiliki calon tetapi karena faktor lain seperti menyogok parpol atau pemilih. Amat jarang bakal calon mendatangi parpol dengan tawaran kebijakan yang sifanya inovatif. Kalaupun ada, tawaran itu akan diabaikan karena sebagian parpol lebih mementingkan "setoran awal". Pemimpin yang tidak inovatif menjadi salah satu pemicu tidak inovatifnya kebijakan publik di daerahnya. Kebijakan Sekedar rutinitas semata agar ada anggaran yang bisa mengalir atau  sekedar agar pemerintahan  bisa berjalan. Pemimpin yang kerap menyuap parpol dan menyogok pemilih biasanya pemimpin tanpa visi. Sebab yang dipikirkannya adalah keuntungan pribadi  yang bisa di raih ketika mengakhiri jabatan. Sehingga mustahil baginya merumuskan kebijakan untuk benar-benar berpihak pada kepentingan publik.

Kedua, salah satu cara yang bisa dilakukan para politisi untuk memenangkan pilakda adalah memanfaatkan pihak lain untuk menutupi kekurangannya. Jika jumlah kursi parpolnya tidak mencapai 20 persen dari jumlah total anggota DPRD, maka akan merangkul parpol lain yang memiliki kursi di DPRD. Jika pembiayaan kampanye tidak mencukupi maka, cara yang dilakukannya adalah mengajak pengusaha. Jika popularitasnya tidak begitu bagus, maka yang dirangkulnya adalah kalangan artis. Konektifitas calon Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah tidak terbangun atas dasar kesamaan visi, tetapi atas dasar bagimana memenangi pertarungan. Karena perbedaan  visi itulah sehingga keduanya mengalami keretakan meski baru menjabat 6 bulan. Nyaris hampir semua pasangan kepala daerah terutama di Kabupaten/Kota tidak harmonis sampai mengakhiri jabatan. Konflik keduanya menyebabkan gerbong birokrasi terpecah. Yang lain loyal pada kepala daerah dan yang lain loyal kepada wakilnya. Kondisi birokrasi yang terpecah ini mengakibatkan pelayanan publik menjadi buruk. Pola pengawasan dan koordinasi menjadi sangat lemah. Penilaian kinerja aparat tidak diiukur dari kualitas kerja tapi diukur pada kesetiaan dan loyalitas.

Ketiga, sebagian besar pejabat struktural di daerah diisi oleh pejabat pelaksana tugas atau PLT yang selama ini memiliki kewenangan yang terbatas. Daerah yang mengoleksi pejabat PLT paling besar disebabkan oleh pemberhentian kesewenang-wenangan kepala daerah yang menang atau  yang kalah. Meski pejabat-pejabat itu dinilai produktif dan berkinerja baik, tapi jika mereka sebagai pihak yang tertudu tidak berkontribusi bagi pemenangan maka nasib sial akan menimpahnya yaitu pemecatan. Ironinya yang menggantikan mereka adalah ASN yang sesungguhnya belum memenuhi syarat kepangkatan. Pengangkatan tidak didasarkan pada meritokrasi tapi atas dasar balas jasa. Pengalaman kepamong prajaan yang minim, mengakibatkan tata kelola pemerintahan yang dipimpinnya tidak berorientasi pada pelayanan.

Keempat, masyarakat yang terbukti tidak memilih kepala daerah yang sedang berkuasa ternyata mendapat perlakuan yang berbeda dalam hal  pelayanan publik. Banyak masyarakat mengeluh bahwa anak-anaknya  kesulitan mendapatkan bantuan studi, tidak mendapatkan distribusi beras sejahtera (rastra), tidak terdaftar sebagai penerima PKH, gas LPG dan bantuan-bantuan lain karena beda pilihan. Kelima, pembiayaan Pilkada yang bersumber dari APBD tentu sangat mengganggu kualitas pelayanan publik. Anggaran Infrastuktur untuk menunjang pelayanan akan terbagi dengan membiayai Pilkada.  Perlu  mengoreksi bagian-bagian penting agar benar-benar sistim pilakda langsung tidak digantikan oleh sistim yang lain. Sabab tanpa membenahi sistim pilakda, maka tata kelola pemerintahan daerah akan tetap amburadul seperti ini. (Redaksi)

Comments