Peringati Hari Sumpah Pemuda, Himapem - Bem Fispol Gelar Dialog Kebangsaan

(Foto : Pembicara dan Peserta Dialog Kebangsaan)

FISPOL, Acta Diurna - Dialog Kebangsaan dengan takjub "Ruang dan Waktu Spirit Sumpah Pemuda dan Tantangan Kosmopolitan" yang dilangsungkan di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fispol) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado pada Rabu, (30/10/2019). Dialog ini merupakan momentum memperingati Sumpah Pemuda  28 Oktober 1928 .

Acara ini digagas oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fispol Unsrat bersama Himpunan Mahasiswa Jurusan (Himaju) Pemerintahan Fispol Unsrat, dengan menghadirkan pembicara yang begitu kompeten berbicara soal Spirit Kepemudaan yakni Fredy Wowor, S.S, M.teol selaku sejarawan dan akademisi Fakultas Ilmu Budaya Unsrat dan Dr. Valentino Lomowa, S.S, MA selaku dosen De La Salle Manado yang fokus kajiannya pada Filsafat, Logika, dan Etika.

Dr. Valen mengatakan bahwa pemuda saat ini harus tahu tantangan yang ada di era serba digital ini, serta harus melihat dunia maya sebagai instrumen yang membantu kita untuk melihat dunia secara lain dan melihat dunia secara lebih kaya.

"Dengan demikian maka, praktik-praktik seperti Hoax, Ujaran Kebencian, status-status yang tidak mampu untuk membedakan mana ranah publik, dan mana ranah prifat. Jadi bagi saya salah satu makna dari sumpah pemuda adalah Kita Bersumpah, dalam arti menempatkan dunia maya sebagai instrumen untuk memanusiawikan manusia bukan untuk menganimalkan sesama manusia, karena itu berati kita menjadikan dunia maya sebagai alat untuk mendegradasi nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi alat untuk menganggungkan dan merayakan kemanusian itu," jelas ahli filsafat tersebut.

(Foto : Moderator Halen Mogot dan Pembicara Fredy Wowor - Valentino Lumowa)

Sementara itu, Mner Fredy Wowor selaku budayawan dan sejarawan mengatakan Sumpah Pemuda mampu membahasakan harapan kolektif bukan sebagai 'kita' tetapi 'kami' yang mampu kita hidupi bukan sebagai mitologi saja.

"Sumpah Pemuda itu mampu membahasakan harapan kolektif dengan menyentuh ingatan kolektif yang tersimpan jauh dalam dasar jiwa dengan bahasa yang langsung bisa dipahami bukan sebagai mereka tetapi sebagai kami. Ketika kita bilang 'Kami' kamu termasuk didalamnya, bukan lagi ditahun 1928. Pada akhirnya tinggal bagaimana kita menghidupi itu, bukan cuma menjadi semacam mitologi yang tinggal sebagai monumen, yang sialnya kita sudah dalam monumen itu yang belum mati namum otak kita sudah dipenjara monumen itu," ujar mner Fredy.

Sebagai seorang sastrawan dan budayawan mner Fredy berpesan kepada kaum milenial untuk mampu menghadapi tantangan kosmopolitan ini  dengan mulai menulis yang bukan asal menulis.

"Mulailah Menulis. Dengan menulis kita bisa menyentuh diri sendiri, sekeliling kita, dan masa depan. Menulis apa saja. Tetapi menulis bukan hanya asal tulis, menulis yang saya maksudkan adalah buah dari refleksi ketika kita membaca pengalaman, membaca sumber-sumber pengalaman tetapi juga membaca hasil represi kita pada pengalaman itu," pesan budayan tersebut.

"Dalam bahasa dulu, kamu mau buka kitab semesta, kamu harus bisa buka kitab ilmu pengetahuan," tutupnya. (Redaksi)

Peliput : Mineshia
Editor : Yaya

Comments