UKT Melejit, Mahasiswa Baru Menjerit: Potret Wajah Pendidikan Indonesia Universitas Sam Ratulangi

Ilustrasi. (Foto Istimewa)

ACTA DIURNA - Pendidikan merupakan instrument penting dalam sebuah negara untuk memajukan peradaban. Melalui pendidikan, negara tersebut bisa menciptakan sumber daya manusia yang mempuni untuk menopang kemajuan sebuah negara. Maka dari itu, dalam konstitusi Republik Indonesia termakhtub bahwa, “Negara wajib mencerdaskan seluruh kehidupan bangsa."

Okey, mari kita lihat apakah konstitusi itu jalan atau tidak. Secara kuantitas, orang Indonesia yang berusia 18-23 tahun ada sekitar 80-100 juta orang, sedangkan Universitas di Indonesia yang jumlahnya 4,715 hanya mampu menampung 7-8 juta orang. Melalui data tersebut, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa, orang Indonesia yang berhak atas pendidikan tidak semua bisa mendapatkan pendidikan di karenakan jumlah Universitas yang masih terbatas.

Mari kita lihat pendidikan Indonesia dari segi kualitasnya. Dalam skala negara-negara ASEAN, universitas-universitas Indonesia berada di peringkat 800-1000 dari segi publikasi riset ilmiah. Sedangkan, universitas-universitas Singapore dari sisi publikasi riset ilmiah, berada di peringkat 23 dan 51. Jadi, dalam konteks ASEAN saja Indonesia sudah tertinggal jauh.

Melihat kondisi pendidikan yang ada di Indonesia, apakah Indonesia mampu memajukan peradabannya melalui penciptaan sumber daya manusia yang mempuni? saya kira kita sama-sama prihatin akan hal itu.

Mari kita lihat lebih mendalam dan spesifik seperti apa wajah pendidikan Indonesia itu. Universitas Sam Ratulangi merupakan Universitas unggulan yang ada di Sulawesi Utara dan biasa di singkat UNSRAT. UNSRAT mempunyai slogan yaitu, Si Tou Timou Tumou Tou, yang berarti “manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain”. Dari slogan itu kita sudah dapat melihat sisi humanisme yang begitu kental dalam proses pendidikan UNSRAT. Tapi apakah benar demikian?

Saat ini UNSRAT baru selesai melaksanakan proses penerimaan Mahasiswa baru jalur terakhir, yaitu T2. Sebelumnya sudah di adakan SNMPTN dan SBMPTN. Setelah penentuan lulus tidaknya mahasiswa yang mengikuti seleksi, maka para mahasiswa akan masuk tahap penentuan biaya UKT (uang kuliah tunggal). Dalam penetuan UKT tahun 2019 memiliki sistem yang berbeda.

Sebelumnya, UKT di tentukan melalui proses negosiasi, yaitu pihak universitas akan berbicara secara empat mata dengan orang tua mahasiswa/mahasiswa kemudian dengan berbagai macam pengeluhan dan pertimbangan maka di tentukan UKT mahasiswa berdasarkan kemampuan orang tua. Tetapi, di tahun 2019 proses negosiasi yang sangat manusiawi tersebut, yang apabila di jalankan secara objektif, sudah di gantikan dengan sistem penentuan secara sepihak oleh pihak Universitas.

Sistem yang di terapkan pihak UNSRAT saat ini sangat tidak manusiawi, bagaimana tidak, penentuan UKT dilaksanakan berdasarkan analisis data para mahasiswa oleh computer, yang bukan tidak mungkin, hanya di kendalikan oleh satu orang. Jadi,penentuan UKT saat ini sudah melalui proses online yang tidak diketahui mekanismenya oleh pihak yang bersangkutan (mahasiswa baru).

Selain masalah penetuan UKT yang sudah secara online, banyak sekali mahasiswa baru yang mengeluh karena biaya UKT yang terlalu tinggi. Ketika melihat tahun-tahun sebelumnya, memang biaya UKT tiap tahunnya meningkat. Yang sebelumnya rata-rata satu juta kemudian meningkat menjadi rata-rata tiga juta, dan sekarang menjadi rata-rata empat juta.

Tentu saja ini sangat memberatkan para mahasiswa baru, karena mareka pun memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda-beda. Mungkin bagi anak para pejabat dan yang memiliki pendapatan di atas rata-rata, persoalan ini bukan masalah yang besar, tapi bagaimana dengan anak petani, nelayan, dan orang-orang yang memiliki pendapatan di bawah rata-rata? apakah mereka harus membatalkan cita-cita dan mengurungkan niat untuk memperoleh pendidikan?

Apabila mengacu dari slogan UNSRAT untuk memanusiakan manusia, sudah sepatutnya pihak universitas meninjau kembali kebijakannya yang tidak manusiawi. Pendidikan sudah seharusnya berorientasi kepada kemanusiaan bukan semata-mata mengejar rangking akreditasi. Apa guna akreditasi A sedangkan dalam sistem rekrutmen mahasiswa baru saja tidak bersifat manusiawi.

Persoalan ini juga memang berawal dari penterjemahan Permenristekdikti yang tidak  baik. Contohnya, ada kejelasan dan keterbukaan sampai saat ini mengenai klasifikasi UKT yang ada. Kemudian, dalam Permenristekdikti ada batas minimum dalam setiap kategori UKT, pihak universitas hanya mengisi kategori tersebut berdasarkan jumlah minimum yang di tetapkan Permenristekdikti. Padahal, misalnya belum tentu orang-orang yang sudah ada dalam ketegori 1 (1juta-3juta) masih lebih di bawah pendapatannya di bandingkan dengan yang ada di kategori 2 misalnya (3-5 juta). Padahal, kalau pihak universitas jelih, di setiap kategori UKT masih bisa di tambah sampai jumlah maksimal, karena yang di sebutkan Permenristekdikti hanya minimal. Karena, bisa jadi yang mempunyai pendapatan lebih di atas lebih dahulu mendaftar dari pada yang memiliki pendapatan di bawah.

Selain permasalahan di atas, proses pengauditan data mahasiswa baru untuk menentukan UKT sangat-sangat tidak manusiawi. Bagaimana tidak, ada seorang mahasiswa baru yang tidak mau di sebutkan namanya, berasal dari Bolmut, sudah memberikan keterangan tidak mampu dan menyatakan bahwa pendapatan orang tuanya perbulan hanya Rp 500,000, tapi pihak universitas malah memutuskan bahwa biaya UKT mahasiswa baru tersebut Rp 4.000.000. Jadi jangan heran, apabila dalam perjalanan perkuliahan banyak mahasiswa yang terhenti karena sudah tidak mampu lagi membayar biaya UKT. Karena bukan tidak mungkin di tahap awal, para orang tua mahasiswa sampai rela-rela menjual tanah dan sebagainya demi anaknya bisa kuliah, ini beban psikologi yang biasanya terjadi pada orang tua mahasiswa baru. Dengan biaya UKT yang melambung tinggi, tidak serta merta juga membuat fasilitas proses belajar mahasiswa menajadi baik. Banyak sekali mahasiswa yang mengeluh akan hal ini, tidak memadainya perlengkapan penunjang proses perkuliahan membuat para mahasiswa juga tidak nyaman dalam belajar.

Sudah seharunya pihak Universitas melihat dampak kebijakannya sampai pada persoalan yang ada di bawah. Buat apa di laksanakan tes masuk sampai tiga tahap, tapi kemudian malah mendiskualifikasi mahasiswa melalui UKT, kenapa tidak di pasang di awal saja bahwa salah satu persyaratan adalah mampu membayar UKT. Mungkin masih banyak persoalan yang belum terekspos dan  tidak diketahui, untuk itu kiranya melalui tulisan ini makin banyak pihak yang tergerak hatinya untuk mencari tau dan bersumbangsih untuk memperbaiki.

Pendidikan sudah seharusnya berkeadilan sosial dan ekonomi, agar supaya melalui pendidikan kemajuan bangsa ini bisa kita tatap dan raih secara optimis.

Hidup mahasiswa!

Penulis: Hengky Roboth

Comments

  1. Alangkah Baiknya kutipan data² di atas di cantumkan juga Sumber datanya agar lebih Kredibel.

    ReplyDelete

Post a Comment