Politisi Bangun Sentimen, Masyarakat Jadi Sektarian

Studi kasus Pemilu 2019 di Kabupaten Halmahera Utara, Tobelo.
Editorial, ACTA DIURNA - Setelah pengamatan beberapa hari pasca pemilu diselenggarakan, rupanya wajah-wajah para politisi lokal kian memburuk. Hal tersebut dapat dilihat dari pembawaan narasi-narasi politik di ruang publik yang kontenya kurang mengenakan.

Seharusnya wakil-wakil rakyat yang mengikuti pagelaran politik serentak ini harus siap kalah dan menang pun sudah memprediksi hasil akhir dari proses yang begitu melelahkan bahkan berujung banyak jiwa yang melayang (petugas yang meninggal).

Adapun politisi yang selalu membangun opini publik bahwa penyelenggara pemilu tidak netral atau ASN yang menyimpang dan banyak isu lainya. Akibatnya masyarakat menjadi ambigu ketika hasil pemilu dimumkan (delegitimasi penyelenggara). Pada kasus lain pula, politisi lokal (daerah) melalui narasi-narasi politik yang dipaparkan di media sosial (FB, twitter dll) telah mempolarisasi masyarakat menjadi sektarianisme.

Dari peristiwa ini asumsi saya bahwa masih banyak politisi-politisi lokal yang mengandalkan strategi politik primordial untuk meraut suara rakyat. Dan dari hal ini pula secara subjektif saya melihat tak satu pun politisi lokal yang bertarung di pemilu 2019 ini yang menawarkan gagasan membangun daerah (politik gagasan) semuanya hanya berfokus pada pencapaian kekuasaan.

Kecederungan Menggunakan Politik Primordial
Strategi politik ini akan mengakibatkan melemahnya sistem demokrasi saat ini. Seperti yang dikatakan Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris. Kompetisi pemilu yang berbasis sentimen bersifat primordial justru menurunkan kualitas proses demokrasi.

Pada posisi ini, masyarakat yang sudah telanjur terpolarisasi dengan politik aliran (sektarian) atas dampak dari ulah politisi lokal, akan tidak objektif lagi menilai figur-figur yang menjadi kontestan di pemilu 2019. Selain itu, politisi akan melancarkan politik transaksional (money politic) karena pemilih tidak rasional lagi. Keadaan ini telah menjadi kultur pada masyarakat (budaya politik).

Kemudian jika pemimpin yang lahir dari proses demokrasi yang bebas nilai ini, sifat kepemimpinannya akan otoritarian. Mengapa seperti itu, karena figur yang terpilih nanti adalah bentuk legitimasi kekuasaan rakyat yang dilimpahkan kepada subjek tersebut melalui proses patologi demokrasi. 

Sentimen Berujung Konflik
Setelah masyarakat sudah menjadi terkotak-kotak, tingkat konflik menjadi naik. Karena dampak dari politik primodial. struktur sosial rusak karenanya, seharusnya pada posisi pencegahan konflik partai politik (parpol) yang menjadi patron untuk menghadirkan konsesus ditengah-tengah masyarakat  (rekonsiliasi), bukan hal sebaliknya.

Perebutan suara dan faktor politis lainya telah merubah citra parpol yang fungsinya sebagai wadah pendidikan politik, sosialisasi politik dan sebagai kontrol konflik menjadi hilang. Perlu ada gerakan reformasi politik oleh partai guna menjadi parpol yang ideal.

Sistem rekrutmen politik di setiap internal parpol pun harus diperbaharui kembali. Seperti contoh, setiap parpol yang akan merekrut orang yang mau bergabung dalam suatu parpol harus lulus uji kompetensi dasar.

Penyeleksian berbentuk akademik ini akan menunjang kinerja parpol kedepan, dan orang-orang yang diseleksi nanti kiranya minimal standar pendidikannya adalah sarjana strata satu (1). Kemudian para kader parpol ini harus diberi materi pendidikan politik yang sebagaimana mestinya.

Misalnya memberikan pemahaman terhadap dampak negatif dari politik transaksional (politik uang) pada proses demokrasi indonesia sekarang ini.

Tentunya dalam tahap ini bukan hal yang mudah untuk kita laksanakan, perlunya komitmen yang kuat untuk mengembalikan citra parpol yang terlanjur melenceng dari fungsinya.

Penulis : Renaldo Garedja

Comments